BANGGAI LAUT – Babasaloan Lampa bukan sekadar ritual adat. Tradisi ini menjadi penghubung antara sejarah dan masyarakat di Desa Lampa, Kecamatan Banggai, Kabupaten Banggai Laut. Lebih dari itu, Babasaloan adalah simbol kuatnya peran perempuan dalam kepemimpinan, yang terus dirawat dalam ingatan kolektif.
Tradisi ini diwujudkan dalam bentuk ziarah ke makam leluhur, yaitu Ratu Mapang dan Ratu Nur Sapa (ibunda Abukasim), yang disebut Batomundoan. Kedua makam tersebut secara administratif berada di Desa Adean, Kecamatan Banggai Tengah.
Makam Ratu Mapang terletak di Samadang, sementara makam ibunda Abukasim berada di Bungkuko Tatandak. Prosesi ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para pemimpin perempuan yang memiliki peran besar dalam sejarah Banggai Laut.
Ziarah Makam dan Ritual Pembersihan Diri
Ziarah ke makam Ratu Mapang dan Ratu Nur Sapa bukan hanya bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga penguatan nilai spiritual dan budaya. Setelah prosesi ziarah, masyarakat melanjutkan ritual mandi massal di sungai Paisu Matube. Air yang digunakan sebelumnya telah didoakan oleh tetua adat, dan ritual ini melambangkan pembersihan diri dari kotoran fisik dan spiritual.
Dalam prosesi ini, masyarakat berjongkok di dalam air sungai, sementara tetua adat menyiramkan air dari bambu yang telah diberkati sebagai simbol pemagaran diri dari gangguan roh jahat. Ritual ini menjadi salah satu bagian penting dalam pelaksanaan Babasaloan, yang diwariskan secara turun-temurun.
Tradisi yang Sarat Makna
Babasaloan digelar setelah panen ubi Banggai, sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi. Perayaan ini melibatkan berbagai prosesi adat, termasuk doa dan ritual yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Meski tidak dilaksanakan setiap tahun, Babasaloan tetap menjadi momen penting bagi masyarakat.
Tradisi ini tidak hanya melibatkan masyarakat Desa Lampa, tetapi juga berbagai wilayah lain yang dulunya merupakan bagian dari Lampa. Rumah Adat Kabasaloan Lampa menjadi pusat kegiatan budaya dan tempat berkumpulnya masyarakat dalam pelaksanaan tradisi ini.
Selain digunakan untuk prosesi adat, rumah adat ini juga berfungsi sebagai tempat belajar alat musik tradisional seperti gendang dan gong, yang menjadi bagian penting dalam upacara Babasaloan.
Desa Lampa sendiri memiliki sejarah panjang sejak 1875. Nama "Lampa" berasal dari bahasa Banggai "Tolimpa," yang berarti "lewat" atau "jauh dari batas pandangan mata," sehingga diartikan sebagai "desa yang terlewatkan oleh batas pandangan mata." Hingga kini, masyarakat setempat masih menjunjung tinggi adat dan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Sebagai warisan budaya yang terus dijaga, Babasaloan Lampa menjadi pengingat bahwa perempuan memiliki peran besar dalam sejarah dan kehidupan masyarakat Banggai Laut. Tradisi ini bukan hanya simbol persatuan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap kepemimpinan perempuan dalam sejarah lokal. (*)
Daftar Pustaka
Media Alkhairaat. Babasaloan Lampa, Catatan Ratusan Tahun tentang Kepemimpinan Perempuan. [https://media.alkhairaat.id](https://media.alkhairaat.id/babasaloan-lampa-catatan-ratusan-tahun-tentang-kepemimpinan-perempuan/?utm_source=chatgpt.com).
Media Alkhairaat. Babasaloan Lampa, Praktik Adat Ratusan Tahun yang Masih Terjaga. [https://media.alkhairaat.id](https://media.alkhairaat.id/babasaloan-lampa-praktik-adat-ratusan-tahun-yang-masih-terjaga/3/?utm_source=chatgpt.com).
Jadesta Kemenparekraf. Rumah Adat Kabasaloan Lampa. [https://jadesta.kemenparekraf.go.id](https://jadesta.kemenparekraf.go.id/atraksi/rumah_adat_kabasaloan_lampa?utm_source=chatgpt.com).
Jadesta Sulteng. Desa Paisu Matube. [https://sulteng.jadesta.com](https://sulteng.jadesta.com/desa/paisu_matube?utm_source=chatgpt.com).
Posting Komentar untuk "Babasaloan Lampa, Tradisi Adat yang Merawat Ingatan Kepemimpinan Perempuan di Banggai Laut "