Cerpen: Perjalanan


Cerpen oleh: Topan Samudra A. Sabeha

Suara dering ponsel memecah keheningan kamar malam ini.

“Hai, sayangg,” sapamu sebagai pembuka obrolan daring kita.

Aku yang sedari tadi sibuk bercumbu dengan tulisan-tulisan di laptop, terhenti sejenak saat melihat namamu terpampang di layar. Udara malam ini terasa segar, menyelinap dari ventilasi kamar dan menghadirkan ketenangan.

Kita saling bertukar kabar, sebagaimana lazimnya dua orang yang telah lama tak bersua. Padahal baru dua hari lalu kita saling diam. Entah karena pekerjaan yang menyita waktu, atau memang karena malas memberi kabar. Entahlah.

Kau mulai menceritakan hari-harimu yang melelahkan, dan aku mendengarkan tanpa banyak menyela. Aku tahu, tak banyak ruang bagimu untuk bebas bercerita selain denganku. Kali ini ceritamu sedikit berbeda. Ada isak pelan di sela suaramu. Tetes air mata yang terdengar meski tak terlihat. Aku yang semula fokus mendengarkan menjadi terkejut. Bahagia, haru, dan getir bercampur jadi satu malam ini.

Kau bilang rindu. Ingin bertemu. Katamu, sudah setahun kita tak bersua. Padahal selama ini akulah yang terus mengajakmu bertemu, namun selalu saja alasan pekerjaan menghalangi. Entah setan apa yang merasuki hatimu kali ini, tiba-tiba kau mengajakku bertemu.

Aku tentu tak menolak. Bahkan, mungkin rinduku lebih dalam daripada yang bisa kuungkapkan.

Perjalanan menuju titik temu yang kita sepakati bukan hal mudah. Dari tempat tinggalku, butuh waktu panjang untuk menyebrang ke kabupaten tetangga. Satu-satunya moda transportasi adalah kapal laut. Bagi kami yang tinggal di kepulauan, itu hal biasa.

Di pelabuhan, para buruh mulai menyerbu penumpang, menawarkan jasa angkut barang. Itulah salah satu mata pencaharian utama masyarakat kepulauan. Tak heran mereka berebut membantu siapa saja yang tampak hendak berangkat.

Dari ujung kapal, mataku menangkap seorang buruh yang mengangkat kardus besar. Terik matahari membakar pelabuhan, ia hanya menutupi kepalanya dengan sehelai kain. Kakinya pincang sebelah. Langkahnya tertatih menaiki anak tangga kapal. Setelah kardus itu diletakkan di geladak, ia menunggu upah. Senyumnya tulus saat menerima bayaran. Potret kecil tentang perjuangan yang sederhana namun bermakna.

Bersama kami, sejumlah mahasiswa juga ikut dalam kapal. Mereka kembali ke tanah rantau demi melanjutkan pendidikan. Meski berat meninggalkan kampung halaman, mereka tetap berangkat. Karena mereka tahu: ada masa depan yang sedang mereka bangun.

-----

Hembusan angin laut menerpa seisi kapal. Dinding kapal pun tak luput dari desahnya. Sudah berkali-kali aku menempuh rute ini, namun pemandangannya selalu menghadirkan kejutan.

Kali ini, dari sisi kanan kapal, sekawanan lumba-lumba muncul mengiringi perjalanan. Seolah sedang mengawal seseorang yang istimewa. Di sisi kiri, matahari perlahan tenggelam. Warna jingga membakar langit sore. Para penumpang terdiam. Ada yang menyeruput kopi hangat sambil menatap cakrawala, ada yang sibuk mengambil gambar dari berbagai sudut, dan ada pula yang bersujud dalam salat, bersyukur atas keindahan yang diberikan Tuhan.

Delapan jam kami menyeberangi lautan. Dari tengah hari hingga malam. Pukul delapan malam, kapal Nusantara bersandar di Pelabuhan Rakyat Kuwul. Para buruh kembali menyerbu kapal, menawarkan jasanya. Ada yang menolak, ada pula yang menerima. Aku termasuk yang menolak—hanya membawa ransel kecil di punggung.

Perlahan, aku menuruni tangga kapal, berdesakan dengan penumpang lain. Tangga yang biasanya cukup untuk tiga hingga empat orang kini terasa sempit. Buruh dan penumpang bersaing menuruni anak tangga demi segera keluar dari kapal.

-----

“Udah siap aku, sayang.” Sebuah notifikasi dari ponselku muncul. Pesan darimu.

“Oke baik, sayang. Meluncur,” balasku sembari mengenakan helm—hadiah ulang tahun darimu tempo hari.

Berbeda dari perjalanan laut yang panjang dan melelahkan, perjalanan menuju hotel tempatmu menginap terasa singkat. Ternyata kau sudah menungguku di depan.

Di atas motor tuaku, kau memeluk erat dari belakang. Tak ada celah bagi dingin menyusup ke tubuhku malam itu.

“Ada apa sebenarnya denganmu?” pikirku, di bawah rembulan malam yang hangat ini.

-----

Tentang Penulis

Topan Samudra A. Sabeha, akrab disapa Opan, berasal dari Desa Lampa, Banggai Laut. Alumni UIN Alauddin Makassar, aktif menulis sejak bergabung dengan Forum Lingkar Pena Makassar tahun 2022. Buku pertamanya berjudul Setelah Kesulitan, Pasti Ada Kemudahan: Mahir Nulis (2023).
IG: @Opan.

Posting Komentar untuk "Cerpen: Perjalanan"