BANGGAI BERDIKARI - Di tepian laut yang tenang di Banggai Kepulauan, berdiri istana sederhana yang dulu menjadi pusat kekuasaan. Dari sinilah kebijakan diambil, utusan dikirim, dan upacara adat dijalankan. Namun kejayaan itu mencapai babak akhir pada pertengahan abad ke-20. Nama Syukuran Aminuddin Amir kemudian tercatat sebagai Tomundo terakhir Kerajaan Banggai yang memimpin di tengah pusaran sejarah besar Nusantara.
Dari Tahta ke Republik
Syukuran Aminuddin Amir dikukuhkan sebagai raja atau Tomundo pada 1 Maret 1941. Masa itu bukan masa yang mudah. Nusantara berada dalam tekanan kolonial Belanda, lalu berganti ke pendudukan Jepang, hingga akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Banggai, yang letaknya strategis di perairan timur Indonesia, turut merasakan dampak pergolakan global itu.
Raja Syukuran bukan sekadar pemimpin tradisional. Ia menghadapi dilema antara mempertahankan sistem kerajaan yang telah mengakar selama berabad-abad, atau membuka jalan bagi tatanan baru yang lahir dari semangat kemerdekaan. Pilihan akhirnya jelas: pada 12 Desember 1959, ia menyerahkan kekuasaan kepada Bidin, bupati pertama Kabupaten Banggai. Serah terima itu menjadi titik balik. Sejak saat itu, kerajaan Banggai tidak lagi berfungsi sebagai sistem pemerintahan, melainkan masuk dalam struktur resmi Republik Indonesia.
Tomundo: Simbol yang Hidup
Meski sistem politik kerajaan berakhir, gelar raja tidak benar-benar hilang. Hingga kini, masyarakat Banggai masih mengenal figur Tomundo—sebuah gelar simbolis yang diwarisi dari garis keturunan kerajaan. Bedanya, posisi ini tidak lagi memiliki kekuasaan administratif. Tomundo lebih berfungsi sebagai penjaga adat, simbol identitas, dan representasi kultural masyarakat Banggai.
Dalam upacara adat, dalam cerita-cerita lisan, hingga dalam penghormatan simbolik, Tomundo tetap hadir. Kehadirannya mengingatkan bahwa Banggai bukan hanya bagian dari peta administratif Indonesia, tetapi juga rumah bagi sebuah kebudayaan maritim yang kaya.
Warisan Sejarah dan Budaya
Jejak Syukuran Aminuddin Amir adalah cerita tentang transisi: dari istana ke kantor pemerintahan, dari tahta ke republik. Namun lebih dari itu, ia mewariskan nilai. Ia menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dilalui tanpa kehilangan identitas. Bahwa budaya bisa tetap hidup meski sistem politik berubah.
Hari ini, nama Syukuran Aminuddin Amir tidak hanya dikenal sebagai raja terakhir, tetapi juga sebagai figur yang menutup satu era sekaligus membuka babak baru. Ia dikenang sebagai jembatan antara kerajaan dan republik, antara tradisi dan modernitas.
Refleksi Banggai Hari Ini
Sejarah Raja Syukuran memberi pelajaran bagi masyarakat Banggai dan Indonesia pada umumnya. Kekuasaan bersifat sementara, tetapi kebudayaan adalah nafas yang terus berlanjut. Warisan kerajaan hari ini bukan lagi berupa istana megah atau pengaruh politik, melainkan dalam bentuk kearifan lokal, adat istiadat, serta rasa bangga sebagai orang Banggai.
Di tengah perubahan zaman, dari modernisasi hingga globalisasi, kisah raja terakhir ini menjadi pengingat: bahwa akar budaya tak pernah tercerabut. Tomundo masih dihormati, bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai simbol kebersamaan, persatuan, dan warisan leluhur.
Kerajaan Banggai memang berakhir di tahun 1959. Namun jejaknya masih hidup dalam ingatan, dalam ritual adat, dan dalam identitas masyarakat. Syukuran Aminuddin Amir tetap dikenang, bukan hanya karena ia raja terakhir, tetapi karena ia memilih untuk menjaga martabat bangsanya di persimpangan sejarah. (*)
Sumber: Pemerintah Kabupaten Banggai; Mahkamah Konstitusi RI; Wikipedia Indonesia; cerita lisan masyarakat Banggai.
Posting Komentar untuk "Jejak Raja Terakhir: Kisah Tomundo Syukuran Aminuddin Amir di Persimpangan Sejarah Kerajaan Banggai"