BANGGAI BERDIKARI – Jauh di kepulauan timur Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Banggai Kepulauan, sebuah fenomena keagamaan unik telah menjadi perbincangan lintas generasi.
Kisah ini berpusat pada dua sosok, ayah dan anak: Ali Taeta dan Dzikrullah. Keduanya sama-sama mengklaim status kenabian, membangun komunitas pengikut yang loyal, namun akhirnya berujung pada kontroversi hukum yang serius.
Generasi Pertama: Ali Taeta dan Haji di Bukit Konan
Kisah ini bermula dari Ali Taeta, seorang tokoh yang pada awalnya dikenal sebagai imam dan guru ngaji. Menurut penuturan warga, Ali Taeta memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup serius, setelah sempat mendalami Islam selama lima tahun di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sekembalinya ke tanah kelahirannya, ia menjadi figur sentral di Desa Sampak Onang. Pada tahun 1950-an, Ali Taeta berhasil mengislamkan puluhan kepala keluarga di desanya yang sebelumnya menganut kepercayaan animisme.
Pengaruhnya yang kuat sebagai pemimpin spiritual secara perlahan bertransformasi. Di kalangan pengikutnya, ia mulai dianggap lebih dari sekadar imam; ia diyakini sebagai seorang nabi.
Salah satu ajaran Ali Taeta yang paling fenomenal adalah penetapan "Ka'bah" alternatif. Di belakang masjid yang ia dirikan, terdapat sebuah bukit yang oleh warga disebut Bukit Konan.
Tempat inilah yang dijadikan lokasi untuk menunaikan ibadah haji bagi para pengikutnya, sebuah ritual yang konon dilakukan setiap tahun sebagai pengganti perjalanan ke Mekkah.
Meski kontroversial dan dianggap sesat oleh sebagian masyarakat luas, ajaran Ali Taeta berhasil menciptakan sebuah komunitas yang solid dan bertahan lama, dengan pengikut yang tersebar di Pulau Banggai dan Pulau Peling.
Generasi Kedua: Dzikrullah, Sang Penerus yang Mengubah Syahadat
Setelah Ali Taeta meninggal dunia, "kenabian" itu tidak berhenti. Putranya, Dzikrullah, tampil sebagai penerus. Namun, Dzikrullah mengambil langkah yang lebih berani dan provokatif, yang akhirnya membawanya ke ranah hukum.
Dzikrullah, seorang lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari, memodifikasi kalimat syahadat, pilar utama dalam akidah Islam. Jika ayahnya dilaporkan mengubah syahadat menjadi “...wa Asyhadu anna Aliyan Imamullah”, Dzikrullah mengubahnya lebih jauh lagi dengan memasukkan namanya sendiri: “...wa Asyhadu anna Dzikrullah Aulia Allah.”
Tindakannya ini memicu keresahan yang meluas di kalangan tokoh agama dan masyarakat umum di Banggai dan Banggai Kepulauan, yang mayoritas merupakan warga Al-Khairaat, organisasi Islam terbesar di Sulawesi Tengah.
Puncak Kontroversi: Penangkapan Tahun 2005
Keresahan publik mencapai puncaknya pada awal 2005. Berdasarkan laporan media nasional seperti Tempo dan Detiknews pada Februari 2005, Dzikrullah ditangkap oleh aparat Polres Banggai.
Penangkapan ini dilakukan atas permintaan resmi dari para tokoh agama dan tokoh adat setempat yang khawatir ajarannya akan memicu benturan sosial yang lebih besar.
Menurut keterangan polisi saat itu, Dzikrullah dijerat dengan Pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Jumlah pengikutnya pada saat itu diperkirakan mencapai sekitar 1.500 orang. Penangkapan Dzikrullah menjadi akhir dari klaim kenabian terbuka dari keluarga ini.
Kisah Ali Taeta dan Dzikrullah adalah sebuah potret kompleks tentang bagaimana figur karismatik, interpretasi ajaran agama yang unik, dan isolasi geografis dapat melahirkan sebuah gerakan keagamaan yang akhirnya berbenturan dengan norma sosial dan hukum negara. Warisan mereka kini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sosial dan keagamaan di Banggai Kepulauan. (*)
Posting Komentar untuk "Kisah Ali Taeta dan Dzikrullah: Sosok Ayah-Anak Kontroversial yang Mengaku Nabi dari Banggai Kepulauan"