Ilustrasi Maulana Prins Mandapar sebagai Raja Banggai.
BANGGAI BERDIKARI – Bagi masyarakat Banggai, nama Maulana Prins Mandapar bukan sekadar sebutan dari lembar sejarah lama. Ia adalah tokoh yang menandai awal mula lahirnya Kerajaan Banggai, raja yang menjadi perekat persaudaraan, dan kini diabadikan sebagai nama bandara kebanggaan masyarakat Banggai Laut: Bandara Udara Prins Mandapar.
Penamaan bandara dengan nama seorang raja bukan tanpa alasan. Ia mencerminkan penghormatan terhadap leluhur sekaligus pengingat bagi generasi muda bahwa Banggai memiliki sejarah panjang, jauh sebelum republik ini berdiri.
Darah Portugis, Ternate, dan Jawa di Banggai
Maulana Prins Mandapar lahir dari pasangan Adi Soko (atau Adi Cokro) dan Kastela, seorang perempuan berdarah Portugis yang lahir di Ternate. Perpaduan darah ini menjadikan Mandapar tokoh yang unik, sekaligus menandai pertemuan budaya Nusantara dengan pengaruh luar pada abad-abad awal perdagangan rempah.
Adi Soko, ayah Mandapar, dikenal sebagai tokoh penting dalam pendirian Kerajaan Banggai. Dari tiga pernikahannya, ia melahirkan keturunan yang kelak menjadi figur utama dalam dinamika kerajaan. Selain Mandapar dari Kastela, ada pula Abu Kasim dari istri bangsawan Batui, serta Putri Saleh dari pernikahan dengan perempuan bangsawan kerajaan-kerajaan kecil Banggai.
Keberagaman garis keturunan ini tidak hanya memperluas jejaring politik, tetapi juga menjadi pondasi bagi hubungan persaudaraan antarwilayah yang kelak diwariskan dalam tradisi budaya.
Perebutan Takhta dan Penobatan Mandapar
Sejarah mencatat, setelah Adi Soko meninggalkan Banggai untuk kembali ke Jawa, kerajaan mengalami kekosongan kepemimpinan. Perangkat kerajaan kemudian menggelar sayembara untuk memilih pengganti.
Hasilnya, Abu Kasim muncul sebagai sosok yang layak naik takhta. Namun, ia menolak dinobatkan sebelum mendapatkan restu dari ayahnya. Sikap itu menunjukkan kebijaksanaan sekaligus penghormatan pada tradisi dan orang tua.
Atas pesan Adi Soko, Abu Kasim lantas berangkat ke Ternate menjemput kakaknya, Mandapar. Dari sinilah Mandapar kembali ke Banggai dan dinobatkan sebagai Raja Banggai. Ia menjadi simbol legitimasi politik sekaligus titik awal terbangunnya kerajaan yang lebih besar.
Molabot Tumpe: Simbol Persaudaraan yang Abadi
Salah satu warisan penting dari masa Mandapar adalah tradisi Molabot Tumpe, ritual adat tahunan berupa pengiriman telur burung maleo dari Batui ke Banggai.
Tradisi ini berawal dari peristiwa ketika Adi Soko menerima hadiah sepasang burung maleo dari Raja Batui. Ia berpesan bahwa setiap kali burung itu bertelur, telur pertamanya harus dikirimkan ke Banggai sebagai tanda persaudaraan abadi antara Batui dan Banggai.
Ritual ini terus dilaksanakan hingga hari ini, melibatkan prosesi adat yang penuh makna spiritual dan sosial. Molabot Tumpe bukan sekadar pengiriman telur, tetapi sebuah simbol kuat bahwa persaudaraan lebih penting daripada perebutan kekuasaan.
Dengan demikian, Mandapar dan keluarganya tidak hanya dikenang sebagai penguasa politik, melainkan juga penjaga nilai-nilai persatuan yang diwariskan dalam budaya Banggai.
Makam Mandapar dan Jejak Sejarah
Makam Maulana Prins Mandapar hingga kini masih terjaga dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya di Banggai. Setiap tahunnya, masyarakat maupun peziarah dari berbagai daerah datang untuk berdoa sekaligus mengenang jasa raja pertama Banggai ini.
Keberadaan makam itu menjadi bukti nyata bahwa sejarah Mandapar bukan sekadar cerita tutur, melainkan juga jejak fisik yang dirawat turun-temurun. Ia menjadi pengingat bahwa Banggai pernah berdiri sebagai kerajaan dengan hubungan diplomasi luas, dari Ternate hingga Jawa.
Nama yang Terbang Tinggi: Bandara Prins Mandapar
Sejarah panjang itu kini mendapatkan tempat baru di era modern. Nama Maulana Prins Mandapar diabadikan sebagai nama bandara perintis di Banggai Laut. Bandara ini menjadi gerbang utama bagi mobilitas masyarakat, pintu masuk wisatawan, dan jalur konektivitas ekonomi.
Bagi masyarakat Banggai Laut, bandara ini bukan sekadar infrastruktur transportasi. Ia adalah simbol kebanggaan, karena setiap orang yang mendarat dan terbang dari bandara tersebut akan selalu membawa serta nama Mandapar.
Dengan begitu, sejarah tidak hanya tersimpan di buku atau cerita rakyat, tetapi hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari, melekat pada identitas daerah, dan ikut mengudara.
Mandapar dalam Ingatan Kolektif Banggai
Mengapa nama Mandapar begitu penting? Karena ia bukan hanya raja, tetapi juga simbol pertemuan budaya, diplomasi politik, dan nilai persaudaraan.
Ia mewakili wajah Banggai yang terbuka terhadap perjumpaan, sekaligus teguh menjaga identitas. Tradisi Molabot Tumpe, makam yang menjadi cagar budaya, hingga penamaan bandara—semuanya adalah lapisan ingatan kolektif yang membuat nama Mandapar tetap hidup.
Di tengah gempuran modernitas, mengingat Mandapar berarti menjaga akar sejarah sekaligus menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Penutup
Maulana Prins Mandapar bukan sekadar nama. Ia adalah cerita tentang raja pertama Banggai, tentang persaudaraan yang diikat dengan telur maleo, tentang makam yang jadi cagar budaya, hingga bandara yang kini membawa namanya terbang tinggi.
Dengan menyebut Mandapar, masyarakat Banggai tak hanya mengingat leluhur mereka, tetapi juga merayakan identitas dan kebanggaan yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Daftar Pustaka
Repo Undiksha. Sejarah Kerajaan Banggai: Asal-Usul dan Tradisi Molabot Tumpe. 2019.
Brill Journal. Rituals and Historical Memory in Banggai. 2021.
Jurnal Polahi (IREGWAY). Dinamika Politik dan Budaya Kerajaan Banggai. 2022.
Pojoknesia.com. Meluruskan Makna Tumpe: Antara Upeti dan Persaudaraan. 2023.
Rilis.id. Tradisi Molabot Tumpe: Ritual Mengikat Persaudaraan Masyarakat Banggai. 2018.
Antara News. Prosesi Molabot Tumpe dan Makna Filosofinya. 2021.
Posting Komentar untuk "Siapa Maulana Prins Mandapar? Raja Banggai yang Kini Jadi Nama Bandara Banggai Laut"