BANGGAI BERDIKARI - Di antara banyak narasi sejarah kerajaan di Indonesia, Kerajaan Banggai menyimpan satu fakta menarik yang jarang dibahas: raja pertamanya bukan berasal dari suku atau wilayah Banggai. Sosok ini dikenal dalam tradisi lisan sebagai Adi Cokro atau Adi Saka, seorang pendatang yang justru berhasil mempersatukan wilayah-wilayah yang kelak menjadi Kerajaan Banggai.
Sebelum menjadi kerajaan, Banggai terdiri dari berbagai komunitas adat yang dipimpin oleh para basalo atau pemuka wilayah. Wilayah-wilayah ini tersebar di Pulau Peling dan pesisir daratan Sulawesi Timur. Tokoh Adi Cokro diyakini datang dari luar, kemungkinan dari kawasan timur Nusantara atau bagian dari jaringan pelayaran dagang pada abad ke-14 hingga ke-16. Ia dikenal sebagai sosok bijak dan kuat yang mampu membangun hubungan dengan para pemuka lokal, bukan lewat kekerasan, melainkan melalui kesepakatan dan pernikahan politik.
Dalam adat Banggai, penguasa tertinggi disebut tomundo. Setelah mendapat dukungan dari para basalo, Adi Cokro diangkat menjadi tomundo pertama. Ia bukan hanya menjadi raja, tetapi simbol pemersatu atas keragaman komunitas lokal yang sebelumnya belum bersatu dalam satu sistem kekuasaan terpusat.
Kerajaan Banggai tidak dibangun sebagai kekuasaan mutlak. Kekuasaan tomundo dibatasi oleh peran para basalo sangkap yang mewakili wilayah masing-masing. Para basalo memiliki suara dalam pengambilan keputusan adat dan politik. Model ini menjadikan Banggai sebagai kerajaan dengan struktur kolektif dan federatif, di mana musyawarah dan konsensus menjadi dasar utama pemerintahan.
Fakta bahwa raja pertama Banggai bukan orang Banggai sendiri tercatat dalam sejumlah sumber sahih. Esther Velthoen dalam disertasinya berjudul Contested Coastlines: Diasporas, Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680–1905 menyebut proses penyatuan wilayah oleh figur dari luar sebagai cikal bakal terbentuknya Kerajaan Banggai. Catatan kolonial Belanda juga mengakui Kerajaan Banggai sebagai entitas politik lokal yang sah sejak abad ke-17. Manuskrip lokal dari tokoh adat dan keturunan bangsawan Banggai menyebut nama Adi Cokro sebagai raja pertama yang dipilih secara adat.
Meski demikian, cerita ini jarang muncul dalam narasi sejarah populer. Salah satu alasannya adalah kecenderungan penulisan sejarah yang menekankan pada keaslian identitas lokal, seolah hanya tokoh pribumi yang layak menjadi pemimpin. Padahal, sejarah Banggai justru menunjukkan keterbukaan masyarakat terhadap sosok luar yang mampu membawa stabilitas dan menyatukan perbedaan.
Hingga kini, struktur adat Banggai masih mencerminkan warisan tersebut. Tomundo tetap dihormati sebagai pemimpin simbolis, sementara basalo tetap berperan dalam urusan adat dan budaya. Ini membuktikan bahwa sistem politik adat Banggai dibangun bukan hanya di atas darah dan keturunan, tetapi di atas musyawarah dan kebijaksanaan.
Kisah tentang Adi Cokro mengingatkan kita bahwa kepemimpinan bisa datang dari mana saja. Banggai menjadi kuat bukan karena menolak yang asing, tetapi karena mampu menerima, memilah, dan membentuknya menjadi kekuatan bersama. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh perbedaan, warisan ini patut dipahami dan dihargai. (*)
Daftar Pustaka
1. Velthoen, Esther J. (2002). Contested Coastlines: Diasporas, Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680–1905. Leiden: Universiteit Leiden.
2. Adriani, N., & Kruyt, A.C. (1912). De Bare'e-Sprekende Toradja's van Midden-Celebes. Batavia: Landsdrukkerij.
3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1992). Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta.
4. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2020). Kamus Budaya Banggai. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
5. Pemerintah Kabupaten Banggai Laut. (2023). Profil Budaya dan Sejarah Kerajaan Banggai. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banggai Laut.
6. Tumiwa, Taufik. (2016). "Napak Tilas Kerajaan Banggai: Sebuah Warisan Budaya di Timur Sulawesi." Artikel pada Jurnal Sejarah dan Budaya Nusantara.
7. Pusat Studi Sulawesi. (2021). Catatan Sejarah Lisan dan Struktur Sosial Adat Banggai. Palu: Universitas Tadulako.
8. Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Posting Komentar untuk "Raja Pertama Banggai Bukan Orang Banggai, Ini Faktanya"