Melihat Catatan de Clercq 1890: Potret Ekonomi, Agama, dan Budaya Kabupaten Banggai di Masa Lampau


BANGGAI BERDIKARI – Laporan F.S.A. de Clercq tahun 1890 menyingkap gambaran menyeluruh tentang kehidupan masyarakat Banggai Darat di akhir abad ke-19. Saat itu, wilayah di bawah kekuasaan Raja Banggai membentang dari Tanjung Api (Ampana) di utara—sebagaimana ditegaskan dalam perjanjian Raja Banggai dan Raja Tojo La Riau pada 11 Desember 1887—hingga Teong di daratan selatan.

Dalam catatan itu, Clercq menyebut sebelas distrik utama: Sonoran (Sinorang), Batumi (Batui), Tangkiang (Tangkian), Kenton (Kintom), Mandingo (Mondono), Lontiok, Nambo, Luu (Luwuk), Besame (Masama), Lamala, dan Pokomondolong yang lebih dikenal sebagai Balantak. Di pesisir utara, Pati-Pati dan Saloean berada di bawah Mangino, sedangkan Boalemo di bawah Mandono, Kentong, dan Tangkiang. Di Mandono, Sultan Ternate menempatkan seorang utusan, dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin Sangaji, dibantu Kapita dan Diakanyo.

Mayoritas penduduk pesisir telah memeluk agama Islam, kecuali di Kentong (Kintom) yang masih dihuni kelompok Alfurus—sebutan bagi mereka yang belum menganut agama samawi. Jumlah penduduk pesisir diperkirakan lebih dari tiga ribu jiwa, sementara penduduk pegunungan tak dapat dipastikan.

Secara ekonomi, Balantak menjadi pusat perdagangan penting. Beras dijual ke Gorontalo dengan harga rata-rata 4 gulden per pikul, sedangkan tembakau Balantak terkenal berkualitas dan dipelintir menjadi tali yang dijual sekitar f0,50 per depa. Kawasan ini juga dikenal sebagai lumbung sagu Banggai. Di Pulau Banggai, kayu eboni menjadi komoditas utama, sementara damar dijual dengan harga f10–f15 per pikul, dan rotan tipis serta lilin—terutama dari Batumi dan Kentong—bisa mencapai f80 per pikul. Di Pulau Peleng, antimon atau mika ditemukan di Mambulusan, sedangkan di perbukitannya ditanam kopi dalam skala kecil.

Masyarakat setempat lebih mengandalkan sistem barter ketimbang uang. Farthings kuningan tua—120 keping setara satu gulden—dan mata uang Makassar kerap dipakai untuk menukar kain blacu. Dalam keseharian, masyarakat memanfaatkan hasil alam seperti kuda, anoa (kerbau kerdil), luwak sawit, hingga beragam ikan. Suku Bajo dikenal sebagai pemburu ikan gergaji, tripang, dan kura-kura dengan tombak besar yang mereka sebut Kalai.

Perdagangan budak resmi dihapus pada 1879, namun Clercq mencatat praktik itu sesekali masih terjadi. Jika terungkap, pelaku akan diadili di dewan negara Ternate dan dijatuhi hukuman berat.

Catatan de Clercq menjadi sumber penting untuk memahami dinamika sosial, ekonomi, dan budaya Banggai Darat pada akhir abad ke-19—memberi gambaran betapa strategisnya kawasan ini dalam jaringan perdagangan dan interaksi budaya di jazirah timur Nusantara. (*)

Laporan lengkapnya: https://archive.org/details/Bijdragentotdek00Cler/mode/1up?utm_source=chatgpt.com&q=Banggai

Sumber: Facebook Wonderful Banggai

Posting Komentar untuk "Melihat Catatan de Clercq 1890: Potret Ekonomi, Agama, dan Budaya Kabupaten Banggai di Masa Lampau "