BANGGAI BERDIKARI – Sejarah pembentukan dan penentuan ibukota di Kepulauan Banggai adalah sebuah epik administrasi yang kompleks, diwarnai oleh ambiguitas hukum, konflik sosial berdarah, dan akhirnya diselesaikan melalui sebuah solusi politik.
Kisah ini tidak hanya tentang pemindahan pusat pemerintahan, tetapi tentang bagaimana aspirasi dan luka sejarah membentuk dua kabupaten yang kini berdiri berdampingan: Banggai Kepulauan dan Banggai Laut.
Akar Pemekaran dan Benih Konflik dalam Undang-Undang
Semuanya bermula pada tahun 1999. Semangat otonomi daerah melahirkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999, yang secara resmi membentuk Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) sebagai pemekaran dari kabupaten induknya, Kabupaten Banggai. Tujuannya mulia: mempercepat pembangunan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat kepulauan.
Namun, di dalam undang-undang inilah tersimpan sebuah "bom waktu" legislasi yang menjadi sumber polemik selama bertahun-tahun. Terdapat dua pasal krusial yang saling bertentangan dalam persepsi publik:
* Pasal 10 ayat (3), yang menyatakan: “Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai.”
* Pasal 11, yang mengamanatkan: “Selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian..., kedudukan ibukota... dipindahkan ke Salakan.”
Pasal-pasal ini menciptakan status "ibukota transisi" bagi Kota Banggai. Sayangnya, klausul pemindahan dalam Pasal 11 tidak tersosialisasi secara masif, membuat mayoritas masyarakat meyakini Banggai adalah ibukota permanen dan definitif.
Puncak Polemik: Tragedi "Rabu Kelabu" 2007
Pada masa pemerintahan bupati pertama, Ali Hamid, amanat pemindahan ibukota dalam tempo lima tahun tidak terlaksana. Sebaliknya, sejumlah fasilitas vital pemerintahan yang bersifat permanen seperti Kantor Bupati dan Gedung DPRD justru dibangun megah di Banggai. Hal ini semakin memperkuat ilusi bahwa Banggai adalah ibukota abadi.
Situasi memanas ketika Bupati berikutnya, Irianto Malingong, berupaya menegakkan amanat Pasal 11 yang telah lama tertunda. Rencana pemindahan pusat administrasi ke Salakan memicu gelombang protes dari masyarakat Banggai yang merasa aspirasi mereka diabaikan.
Puncak dari ketegangan ini terjadi pada Rabu, 28 Februari 2007. Peristiwa yang dikenang sebagai "Tragedi Rabu Kelabu" atau "Banggai Berdarah" ini meletus. Bentrokan hebat antara massa demonstran dengan aparat keamanan tak terhindarkan.
Laporan dari berbagai media nasional pada saat itu mengonfirmasi bahwa insiden ini menelan korban jiwa, dengan empat warga sipil meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Peristiwa ini meninggalkan luka yang sangat mendalam di sanubari masyarakat.
Jalan Keluar Politik: Lahirnya Kabupaten Banggai Laut
Tragedi 2007 menjadi titik balik. Luka sejarah dan aspirasi masyarakat Banggai yang secara historis merupakan pusat Kerajaan Banggai, akhirnya menemukan jalan keluar politik.
Wacana pemekaran wilayah yang sudah lama bergulir menjadi semakin kuat sebagai solusi permanen untuk mengakhiri konflik. Setelah melalui proses perjuangan politik yang panjang, pada 14 Desember 2012, DPR RI akhirnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Banggai Laut.
Wilayah baru ini dimekarkan dari kabupaten induknya, Banggai Kepulauan. Dengan disahkannya undang-undang ini, Kota Banggai yang sarat sejarah itu resmi ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Banggai Laut.
Kondisi Sekarang: Dua Kabupaten, Satu Akar Sejarah
Saat ini, kedua kabupaten tersebut telah berjalan efektif dengan pusat pemerintahannya masing-masing:
* Kabupaten Banggai Kepulauan beribukota di Salakan, melanjutkan roda pemerintahan dan pembangunan untuk wilayahnya.
* Kabupaten Banggai Laut beribukota di Banggai, mewadahi aspirasi historis dan administratif masyarakat di wilayahnya.
Meskipun kini terpisah secara administrasi, kedua kabupaten ini tetap terikat oleh akar sejarah, budaya, dan kekerabatan yang kuat sebagai sesama pewaris kebesaran Kerajaan Banggai.
Jalan panjang yang mereka lalui, dari polemik hukum hingga tragedi kemanusiaan, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kejelasan regulasi, komunikasi publik yang transparan, dan kearifan politik dalam menata sebuah daerah. (*)
Posting Komentar untuk "Jalan Panjang Ibukota Banggai Kepulauan: Dari Polemik, Tragedi, Hingga Lahirnya Dua Kabupaten"