Bachrudin Amir dan Bayang Panjang Dualisme Tomundo Sejak 1939


BANGGAI — Pengukuhan Bachrudin Amir sebagai Tomundo menandai babak baru dalam perjalanan panjang kepemimpinan adat di Kerajaan Banggai. Peristiwa ini tidak sekadar seremoni adat, tetapi juga membuka kembali lembar sejarah dualisme Tomundo yang sudah berlangsung sejak delapan dekade silam.

Sejarah mencatat, bayang dualisme itu bermula pada tahun 1939, setelah wafatnya Tomundo Awaludin. Dewan adat Basalo Sangkap mengukuhkan Nurdin Daud, sebagai penerus tahta. Namun, usia Nurdin yang baru 12 tahun dianggap terlalu muda untuk memimpin. Untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan, Basalo Sangkap menunjuk Syukuran Aminuddin (S.A.) Amir, yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa, sebagai pelaksana tugas (Plt.) Tomundo.

Dalam perjalanannya, S.A. Amir kemudian mengukuhkan diri sebagai Tomundo. Langkah itu menimbulkan perbedaan pandangan dalam Basalo Sangkap, karena secara adat Nurdin Daud tetap dianggap sebagai raja sah. Sejak saat itulah, dua garis kepemimpinan tumbuh berdampingan — satu di bawah legitimasi adat, dan satu lagi dalam garis keturunan Amir.

Pada 1959, S.A. Amir menyerahkan pemerintahan Kerajaan Banggai kepada Republik Indonesia. Kerajaan berubah menjadi entitas simbolis, namun peran adat tetap dijaga oleh S.A. Amir hingga wafat pada 1982. Meski statusnya tak diakui sepenuhnya oleh Basalo Sangkap, gelar Tomundo tetap melekat dalam tradisi keluarga Amir.

Upaya meluruskan sejarah dilakukan oleh Basalo Sangkap pada 2008. Dewan adat kembali menghidupkan lembaga Tomundo dan menobatkan H. Iskandar Zaman Awaluddin sebagai Tomundo ke-21. Ia memimpin hingga wafat pada 2010, kemudian digantikan sementara oleh pewaris muda Muhammad Fikran Ramadhan Iskandar Zaman namun diganti oleh pemangku adat karena terlalu muda. Sejak itu, posisi Tomundo versi Basalo Sangkap dijalankan oleh Irawan Zaman Awaluddin.

Sementara itu, di sisi lain, kepemimpinan adat dalam garis keluarga Amir terus berjalan. Setelah S.A. Amir wafat, putranya, Moh. Chair Amir, meneruskan peran sebagai pemimpin adat Banggai. Ia dikenal luas sebagai tokoh masyarakat dan Ketua Lembaga Adat Banggai hingga wafat pada Oktober 2025.

Pengukuhan Bachrudin Amir, adik dari Chair Amir, sebagai Tomundo menjadi penanda lanjutan tradisi keluarga ini. Namun, langkah tersebut juga kembali memunculkan bayang panjang dualisme kepemimpinan di Tanah Banggai — antara garis keturunan Amir dan legitimasi adat Basalo Sangkap.

Kini polemik kepemimpinan adat di tradisi Kerajaan Banggai semakin memanas setelah empat pilar utama Basalo Sangkap Batomundoan Banggai secara resmi menolak keabsahan pengangkatan Bachrudin Amir sebagai Tomundo (Raja) Banggai. Menurut lembaga adat tertinggi itu, prosesi tersebut ilegal, melawan hukum adat, dan mencederai tatanan yang telah dijaga selama ratusan tahun.

Pengangkatan Bachrudin Amir, yang dimaksudkan untuk menggantikan almarhum Moh. Chair Amir (Hideo Amir), sebelumnya dilakukan oleh Basalo Liang, Adnan Diasamo. Namun, langkah ini dikecam keras oleh Basalo Sangkap Batomundoan yang sah, yakni Basalo Sangkap Kokini, Babolao, Katapean, dan Singgolok.

Mereka menegaskan bahwa Kerajaan Banggai telah memiliki Tomundo yang sah, yaitu Muhammad Fikran Ramadhan, yang dikukuhkan sebagai Raja Banggai ke-XXII pada 29 Januari 2010. Mengingat Tomundo Fikran Ramadhan belum dewasa, Basalo Sangkap telah menunjuk Iwan Zaman sebagai Pelaksana Tugas Tomundo untuk menjalankan roda pemerintahan adat.

Basalo Sangkap Kokini, Jasman Palanakan, bahkan meluruskan informasi mengenai Tomundo sebelumnya. Almarhum Moh. Chair Amir juga dianggap bukan Tomundo yang sah sebab hanya mengklaim dirinya tanpa dikukuhkan oleh Basalo Sangkap.

 "Almarhum Moh. Chair Amir semasa hidupnya tidak pernah dikukuhkan sebagai Tomundo oleh Basalo Sangkap Batomundoan Banggai," tegas Jasman usai Seba (perundingan adat) yang digelar di Keraton Banggai, Kabupaten Banggai Laut, Sabtu (18/10/2025).

Penegasan Kewenangan Adat

Kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan seorang raja, menurut adat Banggai, hanya dimiliki secara kolektif oleh empat Basalo Sangkap tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Basalo Sangkap Singgolok, Adrin Kunut, yang menyatakan pihak lain tidak memiliki hak tersebut.

“Tidak ada kewenangan bagi Basalo lain seperti Basalo Labobo, Liang, Buko, Bulagi, dan Lampa untuk mengangkat Tomundo Raja Banggai,” ujar Adrin.

Senada dengan itu, Basalo Sangkap Babolao, Husin Puasa, menilai pengangkatan Bachrudin Amir oleh Basalo Liang sebagai tindakan yang menodai marwah adat. Ia mengimbau seluruh pihak untuk menghormati tradisi leluhur.

"Saya mengimbau kepada seluruh Basalo agar kembali kepada amanat luhur adat. Yang berhak mengangkat dan memberhentikan Tomundo Raja Banggai hanya empat Basalo Sangkap," tegasnya.

Ia menambahkan menjaga tatanan adat adalah tanggung jawab bersama yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Dia menjelaskan mereka tidak meremehkan kedudukan siapa pun, tetapi hanya mengingatkan bahwa ini amanat leluhur. 

"Jangan karena ego, kita melupakan tatanan adat yang telah dijaga turun-temurun,” pungkasnya. (*)

Catatan: Terdapat kekeliruan biodata pada Tomundo Muhammad Fikran sehingga kami mengedit untuk memperbaikinya. Mohon maaf atas kekeliruan yang terjadi.

1 komentar untuk "Bachrudin Amir dan Bayang Panjang Dualisme Tomundo Sejak 1939"