Cerpen: Peduli?

Penulis Cerpen, Nawa
Penulis Cerpen: NaWa

Tangisan Tanpa Air Mata (Episode 1) 

Pukul 06.00 Wita. Matahari pagi mulai menampakan dirinya. Menyibak kumpulan awan putih. Menampakan suasana begitu cerah pagi ini. Suara kokokan ayam jantan yang subuh tadi riuh mulai hilang perlahan. Hanya terdengar sesekali. 

Dari kejauhan terdengar samar sapuan ombak menghempas ditepian pantai. Tampak ingar-binggar warga mulai riuh di rumah Raka.

Raka si pemilik rumah masih terdiam. Matanya lembam semalam suntuk ia tak tidur. Ia masih tak mengeluarkan sepatah katapun hingga saat ini. Hanya tatapan sinis memandang warga yang mulai berdatangan dirumahnya.

Cerahnya pagi ini, berbalik dengan keadaan yang dirasakan Raka. Hanya isak tangis kesedihan terdengar dibalik kamar berukuran sempit dengan dinding terbuat dari anyaman bambu yang mulai reok. Namun airmatanya seakan telah kering. Telah habis keluar sejak kemarin.

Raka hanya bisa menahan perih, menatap sekujur tubuh tergeletak kaku tepat dihadapannya. Sakit Ayahnya mungkin telah berakhir dengan kematian, namun menimbulkan rasa sakit dan kepedihan baru yang amat perih. 

Ayahnya tidak lagi merasakan sakit atas penyakitnya. Namun rasa sakit yang dirasakan Raka akan terus menerpanya hingga ajal menjemputnya.

“Kalian semua pergi dari rumahku”. Teriak Raka. Orang-orang yang berada di dalam dan di luar rumah terperanggah heran dengan teriakan Raka. 

Raka berdiri, beranjak dari kamar. Melihat sekeliling. Raka mengambil dus air mineral yang tersusun rapi di sudut ruangan tengah. 

“Buuuukkkkkkk” Raka membanting dengan sekuat tenaga dus-dus itu. Lalu menginjak dengan sekuat tenaga hingga mengakibatkan air keluar dari beberapa gelas air mineral.

Orang-orang yang disekitar bingung dengan apa yang dilakukan Raka. Awalnya mereka semua tak bereaksi apa-apa. Namun ketika Raka keluar hendak mengambil toples kaca berisi amplop duka dari warga. Mungkin untuk dibantingnya atau apalah. Beberapa warga langsung menenangkan Raka. Takutnya ada yang terluka dengan tindakan Raka yang semakin tak terkendali. 

“Lepaskan saya. Lepaskan. Kalian semua biadab.” Raka meronta dengan sekuat tenaga. Raka ingin melepas cengkraman kuat dari warga. “Kamu ini kenapa Raka?” tanya salah satu warga yang memegang Raka. “Kalian pergi dari rumahku” Raka terus merontah, berupaya melepaskan diri. 

“Aku tidak ingin melihat kalian semua.” Raka tampak pasrah, kepalanya mendongkak, tenaganya mulai lemas, namun bulir-bulir kristal keluar dari matanya. Semakin ia berusaha melepaskan diri, kesedihan semakin menderu dadanya.

“Ikat saja dia Pak. Takutnya sebentar nanti dia kembali mengamuk” usul salah satu Ibu yang sedang memisahkan sisa-sisa padi dalam karung beras. 

“Kasihan Raka, dia sangat terpukul dengan kepergian ayahnya” terang seorang ibu yang ikut membantu membersihkan beras.

Raka terus mengumpat mengusir semua warga yang ada dirumahnya. Perlahan semakin pelan namun dimulutnya terus mengeluarkan kata yang sama.

Orang-orang menganggap Raka mengalami depresi dengan kematian Ayahnya, hingga mengakibatkan ia seperti orang gi*a. Warga menyetujui usul Ibu tadi untuk mengikat tangan dan kaki Raka. Takut nantinya Raka akan mengulang kejadian yang sama dan menghambat proses pemakaman jasad Ayahnya.

Semakin kencang ikatan yang ada, ia terus memaki kesemua warga. Semakin pilu dan sesak ia rasakan. Lagi-lagi hanya ratapan tanpa air mata. Hingga ia terlelap tak sadarkan diri. (Bersambung)

--------

Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka. Mengapa ia menyuruh pulang warga yang hendak membantu proses pemakaman Ayahnya. Bukankah ia sedang berduka dan membutuhkan bantuan warga. Apa yang sebenarnya terjadi?

---------


Tangis Yang Menyibak Pagi (Episode 2)

Selepas sholat subuh berjamaah di Masjid, Raka bergegas pulang ke rumah. Biasanya Raka masih lanjut mendengar kultum dari ustad atau Imam, atau melajutkan membaca Al-Qur’an sampai pukul enam pagi. 

Raka mempercepat langkahnya. Tak sabaran untuk segera tiba ke rumah. Sesampainya dirumah ia langsung menuju ke kamar. Ia dapati Ayahnya telah usai melaksanakan sholat dengan posisi berbaring. Raka mendekati Ayahnya. Mencium kening penuh lembut lalu jidatnya. Ayahnya membalas dengan memeluk erat Raka. Ia balik mencium wajah Raka. Tak terasa air matanya menetes membasahi kedua matanya. 

“Raka” panggil Ayahnya, dengan nada lemas. Bibirnya bergetar pelan.

“Iya Ayah” jawab Raka dengan menatap dalam wajah Ayahnya.

“Ayah minta maaf sama kamu nak” dengan terus membelai rambut Raka.

“Ayah minta maaf kenapa?” tanya Raka penuh heran. Raka mengusap air mata ayahnya.

“Seharusnya di usia kamu sekarang ini, kamu bisa melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi. Namun karena ingin merawat Ayah dan tak ingin meninggalkan Ayah. Kamu rela mengubur dalam-dalam cita-citamu nak. Kamu telah banyak menanggung beban yang seharusnya bukan tanggungjawabmu.” Isak tangis Ayah Raka tak terbendung. Air matanya sampai membasahi bantal kusamnya.

“Ayah tidak perlu minta maaf. Sudah menjadi tanggungjawab Raka untuk membalas kasih sayang Ayah sama Raka.” Suasana pagi itu disambut dengan air mata haru antara Raka dan Ayahnya. Raka menyandarkan wajahnya ke dada Ayahnya. Airmatanya pun membasahi jaket lusuh warna hitam Ayanya. “Raka sangat beruntung memiliki Ayah yang berhati bagai malaikat. Sejak Ibu pergi, Ayah susah payah merawat dan menjaga Raka. Dari Raka berumur tiga bulan Ayah telah menjadi sosok Ibu buat Raka. Apa Ayah masih ingat kejadian waktu Raka masuk SMP?” Tanya Raka.

“Ayah tak ingat lagi nak.” Ayahnya terus membelai rambut Raka. Penuh kelembutan.

“Waktu itu Raka hendak melanjutkan ke SMP. Tapi Ayah tidak punya uang untuk membeli seragam sekolah. Lalu Ayah menukar sepeda milik satu-satunya Ayah ke Pak Udin dengan seragam bekas SMP milik anaknya.” Raka menceritakan sambil tertawa. “ Lucu ya Ayah” Raka kembali tertawa mengingat masa-masa itu. 

“Ayah tak pernah jenuh berdo’a sama Allah SWT. Setiap saat Ayah meminta agar kelak kamu bisa menjadi orang yang sukses.” Ayahnya memperbaiki posisi tidurnya. Memiringkan badannya aga berhadapan dengan Raka.

“Amin Ya Allah” Raka membalas ucapan dan do’a Ayanya. 

“Kamu harus ingat Raka. Jika do’a Ayah di ijabah, kamu tetap rendah hati.” Ayahnya meletakan telapak tangannya di dada Raka.

“Jangan pernah memandang rendah orang lain. Kamu harus banyak membantu orang ketika mereka membutuhkan pertolongan. Saat ini banyak orang yang memiliki kelebihan harta, tetapi banyak pula yang miskin akan rasa empatik.” Raka terus mengangguk mendegar nasihat Ayahnya. 

“Banyak yang melihat orang lain susah, bukan secepatnya memberikan bantuan. Tapi malahan mengambil saputangannya hanya sekedar menyeka airmatanya.” Ayahnya terus menasehati Raka, hingga tak sadarkan jika waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi. Raka dan Ayahnya melewati pagi dengan isak tangis dan airmata haru. (Bersambung)

----------

Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka. Mengapa ia menyuruh pulang warga yang hendak membantu proses pemakaman Ayahnya. Bukankah ia sedang berduka dan membutuhkan bantuan warga. Dimana Ibu Raka. Mengapa Ibunya meninggalkan Ayahnya. Dimana keluarga Raka. Apakah Raka memiliki saudara? Apa yang sebenarnya terjadi?

-----------


Semua Hanya Titipan (Episode 3)

Gemerlap bintang dilangit malam sangat indah. Angin sepoi merambat pekat malam turut menambah kesejukannya. Namun apalah daya. Indah malam tak sama dengan perasaan Pak Ali. Ia terus memandang malam penuh tatapan kosong. Sudah berpuluh tahun peristiwa kelam itu terjadi, entah kenapa malam ini terbesit kembali di ingatannya. Padahal Pak Ali sudah lama mengikhlaskan. Mungkin karena ia kasihan pada Raka.

Seharusnya di umur Raka ia bahagia, bermain bersama teman-temannya, fokus belajar. Justru ia menghabiskan masa kanak-kanaknya untuk bekerja membantu meringankan beban keluarganya. Pak Ali menghela nafas panjang, seiring angin sepoi menyibak masuk ke rumah.

Ia menatap dalam Raka yang sedang tertidur lelap di lantai. Beralaskan tikar kusut yang usianya mungkin lebih tua dari Raka. Dahulu apa saja yang dinginkan pasti terpenuhi. Hampir tidak ada kekurangan satupun. Namun sekarang sama sekali berbeda.

Jangankan untuk kebutuhan sekolah Raka, makan saja untuk sehari-hari saja sudah susah. Jika ingin makan pagi, malamnya harus menghemat. Jika ingin makan siang, maka sarapan pagi tak perlu. Hal ini terus menerus terulang setiap harinya. Malam itu terasa pekat. Hingga seluruh kejadian pilu itu terkenang kembali.

Dua puluh tahun yang lalu. Pak Ali berada pada puncak kejayaan. Ia menjadi salah satu orang terkaya di Provinsi. Bisnisnya terus berkembang. Ia mampu mendirikan lagi beberapa perusahaan, dan dari tahun ketahun semakin berkembang. Kelebihan dan harta yang berlimpah ternyata membuat keluarganya menjadi jauh dari Allah SWT. Semakin hari, Pak Ali semakin sibuk dengan urusan perusahaannya. Istrinya pun demikian. Berperilaku sombong.

Menghambur-hamburkan uang. Yang lebih parahnya tidak ada lagi keharmonisan dalam keluarga Pak Ali. Sangat berbeda diawal mereka berdua membina rumah tangga.

Hingga suatu hari. Dengan sekejap semua hartanya lenyap. Pak Ali ditipu oleh rekan kerjanya. Uang perusahaannya lenyap entah kemana. 

Satu persatu perusahaannya terpaksa ia tutup. Hingga rumah yang menjadi harta satu-satunya harus ia relakan disita oleh Bank. Untuk menutupi hutang-hutangya. 

Keadaan ini sempat membuat Pak Ali menyerah. Bahkan pernah terbesit beberapa kali untuk mengakhiri hidupnya. Hingga pada saat kondisi depresi berat. Ia tak sengaja melihat stiker yang ditempelkan di belakang pintu kontrakan. Ada tulisan arab dan terjemahannya. Ia mendekati tulisan itu. Dibacanya dengan perlahan.

Stiker 1 paling atas bertuliskan :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah : 286).

Stiker 2 tengah dengan tulisan :

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim : 7)

Stiker 3 paling bawah bertuliskan:

“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepadanya kami akan kembali)”. (Q.S Al-Baqarah : 155-156)

Penyesalan mendekam dalam. Pak Ali tersadarkan. Ia memang telah banyak melakukan kesalahan. Namun kesalahan terbesarnya adalah kufur terhadap nikmat yang Tuhan berikan selama ini.

Mulai malam itu, Pak Ali perlahan memperbaiki dan menata kembali kehidupannya. Ia coba bangkit dari keterpurukan. Kita semua pernah melakukan kesalahan dimasa lalu, tapi jangan pernah memilih untuk menderita. Dibenak Pak Ali bukan untuk mengembalikan kejayaannya. Tapi bagaimana bisa bertahan hidup dikondisi saat ini. “Kalian yang menjadi korban atas kesalahanku anak-anaku” Pak Ali mengelus kepala anak-anaknya penuh kasih sayang. Hingga tak terasa bulir kristal mengalir dari kedua matanya.

Pak Ali dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya bernama Zakia Ramadhani berumur empat tahun dan anak keduanya Raka Pratama yang baru berusia empat bulan. 

Hari demi hari di lalui Pak Ali. Benar jika kita mengikhlaskan apa yang telah pergi, maka perjalanan kehidupan di dunia ini terasa ringan. Bukankah apa yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Suatu saat sang pemilik akan mengambil semuanya dari kita. (Bersambung)

------------

Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka. Mengapa ia menyuruh pulang warga yang hendak membantu proses pemakaman Ayahnya. Bukankah ia sedang berduka dan membutuhkan bantuan warga. 

Bagaimana dengan istri Pak Ali. Apakah ikut menyesal atas apa yang menimpa keluarganya. Ataukah semakin menjadi-jadi sikapnya. Bagaimana episode selanjutnya perjalanan hidup Pak Ali. Apakah ia bisa mengembalikan masa kejayaannya ataukah Tuhan terus mengujinya.

Nantikan cerita selanjutnya pada PEDULI ? Episode 4.

Penulis: NaWa saat ini berdomisili di Salakan, Banggai Kepulauan dengan aktivitas freelance. Bisa dijumpai di akun Facebook: NaWa



Posting Komentar untuk "Cerpen: Peduli?"