BANGGAI BERDIKARI – Sebuah “mesin waktu” dalam bentuk disertasi akademis langka ini sering menjadi perbincangan di kalangan sejarawan dan budayawan. Berjudul “Banggai Adat Recht” (Hukum Adat Banggai), karya monumental yang ditulis oleh Dr. J. J. Dormeier pada tahun 1947 ini menyajikan potret mendalam tentang tatanan sosial, hukum, dan kepercayaan masyarakat Banggai yang kini sebagian besar telah terlupakan.
Disertasi yang diterbitkan 78 tahun lalu ini merupakan hasil penelitian Dr. Dormeier saat menjabat sebagai pejabat pemerintah kolonial (Controleur B.B.). Mengingat kelangkaan data etnografis dari era tersebut, karya ini dianggap sebagai pusaka intelektual yang tak ternilai, memberikan jendela paling jernih untuk memahami kompleksitas kehidupan masyarakat Banggai di masa lalu.
Struktur Masyarakat Berlapis yang Jauh dari Primitif
Salah satu temuan utama dalam buku ini adalah bantahan terhadap anggapan bahwa masyarakat adat pada masa itu hidup tanpa aturan. Dormeier justru memaparkan sebuah struktur masyarakat yang sangat terorganisir dan berlapis, yang berpusat pada unit-unit otonom yang disebut persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen).
Struktur ini memiliki hierarki yang jelas, mulai dari unit terkecil:
* Keluarga Inti (gezin): Unit dasar dalam masyarakat.
* Kelompok Keluarga (bense atau tompoek): Kumpulan beberapa keluarga yang memiliki ikatan kekerabatan dan sering kali tinggal berdekatan.
* Persekutuan Wilayah (basaloschap atau bosanjoschap): Ini adalah persekutuan hukum yang sesungguhnya. Dipimpin oleh seorang Basalo atau Bosanjo, kelompok ini memiliki pemerintahan, wilayah ulayat (lipoe), dan kekayaan sendiri. Uniknya, persekutuan ini sering kali tersusun berdasarkan angka-angka magis, seperti terdiri dari empat, tujuh, atau dua belas kelompok keluarga.
Pemerintahan di tingkat kerajaan pun tidak bersifat absolut. Raja Banggai dibantu oleh seorang patih atau perdana menteri yang disebut djogoegoe serta dewan penasihat yang terdiri dari bangsawan lokal (bobato) dan empat pemimpin utama persekutuan adat (basalo-4).
Hukum Gaib dan Sanksi Adat yang Mengerikan
Hukum di Banggai tidak terpisahkan dari dunia spiritual. Disertasi ini mencatat bagaimana kepercayaan menjadi landasan utama bagi keadilan sosial.
* Arwah Leluhur dan Benda Keramat: Kehidupan sehari-hari diawasi oleh pilogot, yaitu arwah leluhur yang diyakini tinggal di dalam setiap rumah dan terbentuk dari gabungan daya hidup semua anggota keluarga yang telah meninggal. Selain itu, ada balakat, yaitu benda pusaka atau tempat keramat yang menjadi pusat magis sebuah komunitas. Keduanya bisa memberi berkah jika adat dijunjung, atau malapetaka jika dilanggar.
* Pengadilan Gaib dan Hukuman Ekstrem: Jika bukti kejahatan tidak ditemukan, masyarakat akan menggelar pengadilan gaib (godsoordeel). Bentuknya beragam, mulai dari duel menyelam (makakiop), mencelupkan tangan ke air mendidih (momamas), hingga memegang besi membara (mensingkom besi). Pelanggaran adat yang paling ditakuti adalah incest (sele), yang diyakini bisa menyebabkan gagal panen dan bencana alam. Hukumannya sangat kejam: kedua pelaku dimasukkan ke dalam kurungan rotan dan ditenggelamkan di laut agar darah mereka tidak menodai tanah.
* Kucing di Atas Takhta: Salah satu kisah paling unik yang dicatat adalah tentang masa kekosongan kekuasaan, di mana para bangsawan menempatkan seekor kucing di atas takhta sebagai raja sementara hingga pemimpin yang sah ditemukan.
Dampak Intervensi Eksternal
Dr. Dormeier, sebagai bagian dari sistem kolonial, juga mendokumentasikan bagaimana tatanan adat ini mulai terkikis oleh pengaruh luar. Kebijakan pembentukan desa paksa (dorpsvorming) setelah 1908 oleh pemerintah Belanda disebut sebagai salah satu faktor perusak utama.
Kebijakan ini memaksa komunitas-komunitas yang hidup di wilayah adat mereka untuk pindah ke pesisir. Akibatnya, ikatan spiritual dan hukum antara masyarakat dengan tanah ulayat mereka (lipoe) menjadi terputus. Sistem pemerintahan adat yang kompleks dengan pemimpin seperti basalo dan tonggol secara bertahap digantikan oleh struktur administratif kolonial yang seragam seperti sengadji (kepala distrik) dan kepala kampung.
Pusaka Intelektual yang Perlu Diselamatkan
Kini, disertasi “Banggai Adat Recht” menjadi saksi bisu dari sebuah dunia yang telah berubah. Bagi masyarakat Banggai modern, buku ini adalah warisan intelektual tak ternilai yang dapat membantu menelusuri kembali akar identitas dan kearifan lokal.
Kendala utama saat ini adalah bahasa, karena karya ini ditulis dalam bahasa Belanda akademis. Kalangan akademisi dan budayawan berharap agar ada upaya penerjemahan dan digitalisasi sehingga pengetahuan berharga di dalamnya dapat diakses secara luas oleh generasi sekarang, baik untuk kepentingan pendidikan, pelestarian budaya, maupun sebagai rujukan dalam membangun kebijakan daerah yang berakar pada sejarahnya sendiri. (*)
Posting Komentar untuk "Disertasi Orang Belanda Ini Bahas Soal Banggai di Zaman Dulu, Simak Selengkapnya"